Selasa, 10 Mei 2011

ringkasan pengembangan bahasa arab

B. Realitas dan Orientasi Pendidikan Bahasa Arab
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:
1. Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
2. Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan kitâbah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
3. Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.
4. Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.[2]
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam Jakarta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong “miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan penulis, yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab.
Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif “tertolong” oleh keberadaan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd di Riyâdh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber belajar yang relatif memadai, melainkan juga membantu PBA memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa Arab untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN Jakarta, mungkin nasib PBA tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di luar Jakarta.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil “ijtihad institusional” masing-masing, bukan merupakan “ijtihad struktural” (baca: Depag RI). Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi PBA-PBA lainnya –antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi PBA-PBA lainnya—namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis)[3], keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.
C. Tantangan Pendidikan Bahasa Arab
Bahasa Arab di negara-negara Timur Tengah, seperti: Arab Saudi, Mesir, Syria, Iraq, Yordania, Qatar, Kuait, dapat dibedakan menjadi dua ragam, yaitu Arab fushha dan Arab ’âmmyah. Keduanya digunakan dalam realitas sosial dengan konteks dan nuansa yang berbeda. Bahasa Arab fushha digunakan dalam forum resmi (kenegaraan, ilmiah, akademik, jurnalistik, termasuk khutbah); sedangkan bahasa Arab ‘âmmiyah digunakan dalam komunikasi tidak resmi, intrapersonal, dan dalam interaksi sosial di berbagai tempat (rumah, pasar, kantor, bandara, dan sebagainya). Frekuensi dan tendensi penggunaan bahasa Arab ‘âmmiyah tampaknya lebih sering dan lebih luas, tidak hanya di kalangan masyarakat umum, melainkan juga kalangan masyarakat terpelajar dan pejabat (jika mereka berkomunikasi dengan sesamanya). Mereka baru menggunakan bahasa Arab fushha jika audien bukan dari kalangan mereka saja.
Menurut ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, pendidikan bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang serius. Pertama, akibat globalisasi, penggunaan bahasa Arab fushha di kalangan masyarakat Arab sendiri mulai berkurang frekuensi dan proporsinya, cenderung digantikan dengan bahasa Arab ‘âmmiyah atau dialek lokal (al-lahajât al-mahalliyah). Jika jumlah negera Arab berjumlah 22 negera, berarti paling tidak ada 22 ragam bahasa ‘âmmiyah. Hal ini belum termasuk dialek suku-suku dan kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, dialek lokal Iskandaria (Alexandria) tidak sama dengan dialek Thantha, dan sebagainya.[4]
Dewasa ini, terutama di kalangan generasi muda Arab, terdapat kecenderungan baru, yaitu munculnya fenomena al-fush’amiyyah (الفصعمية), campuran ragam fushha dan ‘âmmiyah. Gejala ini merupakan tantangan serius bagi dunia pendidikan karena terjadi degramatisasi atau pengeliminasian beberapa gramatika (qawâ’id). Kaedah-kaedah bahasa yang baku kurang diperhatikan, sementara pembelajaran qawâ’id pada umumnya tidak efektif. Kultur fush’amiyyah lebih dominan daripada kultur akademik yang memegang teguh kaedah-kaedah berbahasa Arab. Bahkan di kalangan perguruan tinggi Mesir, termasuk di Fakultas Adab, sebagian besar dosennya banyak menggunakan ragam baru ini. [5]
Kedua, masih menurut Syâhîn, realitas bahasa Arab dewasa ini juga dihadapkan pada tantangan globalisasi, tepatnya tanganan pola hidup dan kolonialisasi Barat, termasuk penyebarluasan bahasa Arab di dunia Islam. Kolonialisasi ini, jika memang tidak sampai menggatikan bahasa Arab, minimal dapat mengurasi prevalensi penggunaan minat belajar bahasa Arab di kalangan generasi muda.
Ketiga, derasnya gelombang pendangkalan akidah, akhlak, dan penjauhan generasi muda Islam dari sumber-sumber ajaran Islam melalui pencitraan buruk terhadap bahasa Arab. Dalam waktu yang sama terjadi kampanye besar-besaran atas nama globalisasi untuk menyebarkan dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa yang paling kompatibel dengan kemajuan teknologi.[6]
Farîd al-Anshârî menambahkan bahwa agenda neo-kolonialisasi globalisme (al-isti’mâr al-‘awlamî al-jadîd) yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam dewasa ini memang dimaksudkan untuk “membunuh karakter dan identitas budaya”, terutama Arab. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari arogansi Amerika Serikat, baik menyangkut kebijakan politik luar negerinya maupun perilaku politiknya, terhadap dunia Islam, khususnya Timur Tengah. Negara Adidaya ini seringkali mencampuri urusan dalam negara-negara Islam, baik melalui “intervensi langsung” maupun melalui operasi agen-agen rahasianya yang terkenal lihai dan licin. Salah satu agenda yang “diselundupkan” ke dunia Arab adalah penghilangan atau pendangkalan identitas bahasa dan budaya Arab, marjinalisasi sumber-sumber ajaran Islam dari sistem pendidikan di dunia Islam, dan sekularisasi dalam berbagai aspek kehidupan.[7] Selain ada upaya penggantian huruf Arab dengan latin, bahasa Arab pada lembaga pendidikan di dunia Islam juga mulai digeser meskipun belum sampai digantikan oleh bahasa Inggris atau Perancis sebagai bahasa pengantar untuk pembelajaran sains.
Berbagai siaran langsung olah raga di dunia Arab, terutama sepak bola, yang disiarkan dari Barat (liga Inggris, Spanyol, Italia, Perancis, atau Belanda) sudah banyak menggunakan bahasa Inggris. Demikian pula, mata acara atau program tayangan televisi di dunia Arab juga sudah banyak dipengaruhi oleh gaya dan pola hidup Barat yang sekuler dan materialistik.[8] Akibatnya, minat dan motivasi untuk mempelajari bahasa Arab secara serius menjadi menurun.
Semantara itu, di Indonesia, kita cenderung hanya mempelajari bahasa Arab fushha, dengan rasionalitas bahwa bahasa Arab fushha itu merupakan bahasa Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena tujuan utama studi bahasa Arab adalah untuk kepentingan memahami sumber-sumber ajaran Islam. Sebagian kalangan boleh jadi karena ketidaktahuan bahasa Arab ‘âmmiyah cenderung anti bahasa Arab ‘âmmiyah, karena mempelajari bahasa Arab pasaran itu dapat merusak bahasa Arab fushha. Betulkah demikian?
Menurut penulis, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam kenyataannya, masyarakat Arab yang terpelajar pun tetap menggunakan dua ragam bahasa Arab tersebut secara proporsional, sesuai dengan situasi dan kondisi. Banyak para guru atau dosen di perguruan tinggi di Mesir, Arab Saudi, Syria, dan lainnya tetap fasih berbahasa fushha, meskipun dalam pergaulan keseharian dengan sesamanya lebih cenderung menggunakan ‘âmmiyah. Yang hendak ditegaskan di sini adalah bahwa studi bahasa Arab diperguruan tinggi Islam di Indonesia perlu dikembangkan tidak hanya berorientasi penguasaan bahasa Arab fushha semata, melainkan juga bahasa Arab ‘âmmiyah perlu mendapat “ruang dan waktu” (porsi), meski hanya sekedar pengenalan dialek, agar para mahasiswa juga mampu berkomunikasi secara alami dan efektif dengan penutur bahasa Arab dalam situasi formal maupun informal.
Tudingan sementara pihak bahwa upaya mengganti bahasa Arab fushha dengan âmmiyah merupakan usaha kaum orientalis agar umat Islam menjauhi atau tidak dapat memahami al-Qur’an dengan baik juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, bagaimana mungkin orientalis Barat mendiktekan kemauan mereka untuk berbahasa Arab âmmiyah, sedangkan mereka sendiri (para orientalis) secara akademis mempelajari bahasa Arab fushha sebelum mengkaji budaya dan peradaban Timur (Islam)? Bahasa Arab fushha akan tetap lestari meskipun orang-orang Arab sendiri lebih suka berbahasa Arab âmmiyah. Kecenderungan berbahasa Arab âmmiyah tampaknya lebih didasari oleh kepentingan dan tujuan pragmatis, yaitu: komunikasi lisan yang lebih mengutamakan aspek kepraktisan, simpel, dan cepat. Namun demikian, maraknya penggunaan bahasa Arab âmmiyah tetap merupakan sebuah tantangan yang dapat mengancam atau setidak-tidaknya mengurangi mutu kefashihan bagi orang atau bangsa Arab pada umumnya.[9]
Selain itu, studi bahasa Arab di lembaga pendidikan kita juga mengalami disori- entasi: tidak jelas arah dan tujuannya. Hal ini, antara lain, terlihat pada struktur program kurikulum PBA yang bermuatan beberapa mata kuliah yang tampaknya tidak semuanya revelan dengan visi dan misi PBA. Mata kuliah seperti: Nushûsh Adabiyyah dan ‘ilm al-‘Arûdh (Metrics) agaknya sudah tidak revelan dengan kebutuhan riil mahasiswa maupun kebutuhan pasar. Selain itu, antara satu mata kuliah dengan lainnya terkesan kurang saling melengkapi dan memperkuat basis dan kerangka keilmuan. Sebagai contoh kasus, ketika membelajarkan insyâ’ (composition), penulis masih banyak disibukkan dengan urusan pembenahan dan pembekalan kaedah-kaedah nahwu dan sharaf, di samping penguatan pola berpikir logis. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran nahwu dan sharaf belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang seharusnya dipecahkan dalam perkuliahan itu. Pada saat yang sama, fakta ini juga menunjukkan bahwa para mahasiswa belum banyak menerima latihan (tadrîbât nahwiyyah atau sharfiyyah) yang jika dikembangkan semestinya membuat mereka terlatih menyusun kalimat baku secara baik dan benar.
Orientasi studi bahasa Arab pada lembaga pendidikan kita tampak masih mendua dan setengah-setengah: antara orientasi kemahiran, dan orientasi keilmuan. Keduanya memang perlu dikuasasi oleh mahasiswa, namun salah satu dari keduanya perlu dijadikan sebagai fokus: apakah bahasa Arab diposisikan sebagai studi keterampilan yang berorientasi kepada pemahiran mahasiswa dalam empat keterampilan bahasa secara mumpuni? Ataukah bahasa Arab diposisikan sebagai disiplin ilmu yang berorientasi kepada penguasaan tidak hanya kerangka epistemologinya, melainkan juga substansi dan metodologinya.
Jika orientasi pertama yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bermuara pada pengembangan keterampilan: mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan menerjemahkan. Sisanya, 30% untuk pengayaan materi keilmuan bahasa Arab, kefakultasan dan MKU (Mata Kuliah Umum/Universitas). Sebaliknya jika orientasi kedua yang dipilih, maka idealnya 70% mata kuliah di PBA bernuansa: ‘ilm al-ashwât (fonologi), ‘ilm al-sharf (morfologi), ‘ilm al-nahwi (sintaksis), ‘ilm al-dilâlah (semantik), ‘ilm al-mu’jam (leksikografi), metodologi penelitian bahasa Arab, linguistik terapan (‘ílm al-lughah al-tathbîqî), sosiolinguistik (‘ilm al-lughah al-ijtimâ’î), psikolinguistik (‘ilm al-lughah al-nafsî), linguistik teks (‘ilm lughat al-nashsh), sejarah dan filsafat bahasa Arab, dan sebagainya.[10]
Selain itu, kebijakan pendidikan dan pengajaran bahasa Arab di madrasah dan lembaga pendidikan lainnya, selama ini, juga tidak menentu. Ketidakmenentuan ini dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab sebagai tujuan (menguasai kemahiran berbahasa) dan tujuan sebagai alat untuk menguasai pengetahuan yang lain yang menggunakan bahasa Arab (seperti mempelajari tafsir, fiqh, hadits, dan sebagainya). Kedua, dari segi jenis bahasa Arab yang dipelajari, apakah bahasa Arab klasik (fushha turâts), bahasa Arab modern/kontemporer (fushha mu’âshirah) atau bahasa Arab pasaran (‘âmmiyyah). Ketiga, dari segi metode, tampaknya ada kegamangan antara mengikuti perkembangan dan mempertahankan metode lama. Dalam hal ini, bahasa Arab banyak diajarkan dengan menggunakan metode qawâ’id wa tarjamah.[11]
Tantangan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pendidikan bahasa Arab adalah rendahnya minat dan motivasi belajar serta kecenderungan sebagai pelajar atau mahasisiwa bahasa Arab untuk “mengambil jalan yang serba instan” tanpa menulis proses ketekunan dan kesungguhan. Hal ini terlihat dari karya-karya dalam bentuk makalah dan skripsi yang agaknya cenderung merosot atau kurang berbobot mutunya. Mahasiswa yang sudah berada di “dunia PBA” bahasa Arab seakan tidak betah dan ingin mencari “dunia lain”, sehingga ini perlu disurvei dan dibuktikan secara akademis tidak sedikit yang mengeluh bahwa jurusan bahasa Arab itu sebetulnya bukan “habitat” mereka yang sesungguhnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamsuri Muhammad Syamsuddin dan Mahdi Mas’ud terhadap 30 mahasiswa Ilmu Politik (Humaniora) pada International Islamic University Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab menunjukkan bahwa penyebab kesulitan belajar bahasa Arab ternyata bukan sepenuhnya pada substansi atau materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat (100%), tidak memiliki latar belakang belajar bahasa Arab (87%), materi/kurikulum perguruan tinggi (83%), kesulitan memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas yang tidak kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80% penyebab kesulitan belajar bahasa Arab adalah faktor psikologis. 77% di antara mereka memiliki kesan negatif terhadap bahasa Arab; dan 33% herregristasi mata kuliah bahasa Arab dianggap mempengaruhi belajar bahasa Arab mereka di kampus.[12] Jadi, faktor penyebab kesulitan belajar bahasa Arab bukan sepenuhnya bersumber dari bahasa Arab itu sendiri (faktor internal sistem bahasa Arab), melainkan lebih disebabkan oleh faktor psikologis (minat, motivasi, tidak percaya diri), edukatif, dan sosial. Karena itu, pendekatan dan metode yang dipilih dalam pembelajaran bahasa Arab seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, edukatif, dan sosial kultural.
Sumber-sumber dan literatur kebahasaaraban di lembaga pendidikan kita juga masih relatif kurang, jika tidak dikatakan terbatas. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pimpinan fakultas dan universitas untuk mengembangkan pendidikan bahasa Arab; dan juga disebabkan oleh kurangnya hubungan lintas-universitas atau lembaga pendidikan dalam bentuk kerjasama ilmiah kita dengan perguruan tinggi di Timur Tengah, sehingga kita tidak banyak mendapat pasokan sumber-sumber dan hasil-hasil penelitian kebahasaaraban. Selain itu, penting juga ditegaskan, bahwa perhatian negara-negara Arab dalam bentuk penyediaan sumber belajar, termasuk referensi dan literatur yang memadai, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, relatif masih kurang[13], jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, seperti Amerika dengan Amcor (American Corner)-nya.
D. Pengembangan Epistemologi dan Kurikulum Bahasa Arab
Tantangan dan berbagai persoalan yang dihadapi pendidikan bahasa Arab tidak mungkin dapat dipecahkan secara personal, tetapi harus melalui pendekatan institusional dan melibatkan banyak pihak. Namun yang mendesak untuk kita diskusikan secara lebih mendalam adalah pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab pada jurusan Pendidikan bahasa Arab. Yang dimaksud dengan pengembangan epistemologi bahasa Arab adalah pengokohan bangunan keilmuan bahasa Arab agar arah pengembangan pengkajian bahasa Arab lebih dinamis. Dari bangunan epistemologi inilah, struktur keilmuan dapat dikembangkan lebih jauh dalam kurikulum bahasa Arab. Berikut ini adalah beberapa pokok pikiran mengenai model pengembangan epistemologi dan kurikulum bahasa Arab.
Pertama, revitalisasi sinergi ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang mempunyai kedekatan bidang kajian, sehingga terjadi proses “take and give” (al-akhdz wa al-‘athâ’) seperti: ilm al-Nashsh (tekstologi)[14], ‘ilm al-makhathûthât (filologi)[15], ‘ilm al-uslûb[16] (stilistika) dan sebagainya. Dengan demikian, ilmu bahasa Arab tidak hanya menjadi basis studi, tetapi juga mempunyai “jaringan keilmuan” yang lebih luas dan multifungsi. Dalam konteks pengembangan kurikulum, pokok-pokok bahasan masing-masing ilmu (baca: mata kuliah) sebaiknya me
Kedua, pengembangan cabang-cabang bahasa Arab menjadi ilmu mandiri, seperti: ‘ilm al-tarjamah, ilm al-insyâ, ilm ushûl al-nahwi, ilm al-Mu’jam (leksikografi) dan sebagainya, sehingga ilmu-ilmu ini tidak hanya sekedar “suplemen”, tetapi menjadi ilmu yang lebih substantif, sistematis, dan mendalam.[17] Seiring dengan semakin menguatnya basis dan tradisi keilmuan, jika memungkinkan di suatu saat nanti, PBA dapat membuka program studi atau peminatan: metodologi penelitian bahasa Arab tarjamaah Arab-Indonesia, metodologi pembelajaran bahasa Arab, pengembangan kurikulum bahasa Arab, teknologi pendidikan bahasa Arab, dan sebagainya.
Ketiga, pembandingan, adaptasi, dan improvisasi ilmu bahasa Arab dengan bahasa Inggris dan Perancis yang saat ini lebih maju dan modern. Upaya ini sebetulnya sudah dilakukan, terutama dalam konteks pembagian metodologi pembelajaran bahasa Arab. Namun tokoh-tokoh pengembangnya relatif masih terbatas. Di antaranya adalah Kamâl Ibrâhîm Badrî, Muhammad Ismâ’îl Shînî, Rusydî Ahmad Thu’aimah, Mahmûd Kâmil al-Nâqah, Rusydî Khathir, Mahmud Fahmî Hijazi, Tammâm Hassân, dan Abduh al-Rajihî.[18] Semua tokoh tersebut pernah mengenyam pendidikan tinggi di Barat, seperti Amerika, Perancis, Inggris, dan Jerman.
Keempat, revitalisasi pendasaran dan pengaitan pengembangan penelitian bahasa Arab dengan “nuansa Islam” dan sumber utama ajaran Islam, yaitu: al-Qur’an dan al-Sunnah. Dewasa ini cukup marak dilakukan oleh para sarjana di perguruan tinggi Arab. Beberapa karya yang dapat disebut di sini, antara lain, adalah: al-Isytirâk, al-Lafzhî fi al-Qur’ân al-Karîm Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Al-Tarâduf, fi al-Qur’an,Al-Karîm, Baina al-Nazhariyyah, wa al-Thabîq, Al-Tarâduf, fi al-Qur’ân, al-Karîm Baina al-Nazhariyyah wa Al-Tathbîq, ketiganya karya Muhammad Nuruddîn al-Munajjid (1999), al-Nahw al-Qur’ânî: Qawâ’id wa Syawâhid karya Jamîl Ahmad Dhafr (1998), dan al-Manhaj al-Islâmî fi al-Naqd al-Adabî karya Sayyid Sayyid ‘Abd al-Razzâq (2001).
Kelima, penguatan penelitian dan pendidikan bahasa Arab melalui aplikasi dan improvisasi linguistik modern dan pengalaman positif di bidang pembelajaran bahasa dari Barat dengan tetap mempertahankan kekhususan atau karakteristik ilmu-ilmu bahasa Arab, baik fonologi, morfologi, sintaksis maupun semantiknya.[19] Upaya semacam ini, antara lain, terlihat dalam beberapa karya seperti: Dirâsat Nahwiyyah wa Dilâliyah wa Falsafiyyah fi Dhaui al-Lisâniyyah al-Mu’âshirah karya Mâzin Al-Wa’r (2001), al-Dilâlah wa Al-Harakah: Dirâsah li Af’âl Al-Harakah fi Al-‘Arabiyyah Al-Mu’âshirah fi Ithâr Al-Manâhij al-Hadîtsah dan al-Dilalah wa al-Kalâm Dirâsah li Afal Al-Harakah fi Al-Arabiyyah Al-Mu’âshirah fi Ithâr Al-Manâhij al-Hadîtsah keduanya karya Muhammad Muhammad Dâwûd (2002).

E. Prospek Pendidikan Bahasa Arab
Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika kita berusaha untuk menghadapi tantangan itu dengan berpikir positif (al-tafkîr al-îjâbî) dan bersikap penuh kesungguhan dan kearifan, termasuk tantangan yang kini dihadapi pendidikan bahasa Arab. Menurut penulis, ada beberapa prospek studi bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat studi bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Pertama, peluang untuk pengembangan bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami dan mengembangkan kajian Islam, atau setidak-tidaknya mengembangkan studi ilmu-ilmu keislaman seperti: fiqh, tafsir, hadits, sejarah Islam, filsafat Islam, dan sebagainya, dengan merevitalisasi penelusuran (eksplorasi) dan elaborasi sumber-sumber aslinya. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai alat dan modal hidup untuk mencari dan memperoleh yang lain di luar bahasa Arab, baik itu ilmu maupun keterampilan berkomunikasi lisan.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa Arab yang profesional. Sebab yang mempunyai kompetensi dan kewenangan akademik dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan yang sederajat adalah lulusan Pendidikan Bahasa Arab, bukan lulusan BSA (Bahasa dan Sastra Arab) atau lainnya, meskipun belakangan ini ada kecenderungan lulusan BSA mengambil Program Akta Mengajar (Akta IV) untuk memperoleh kompetensi dan kewenangan menjadi guru.
Ketiga, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan. Oleh karena yang selama ini menjadi hambatan –setidak-tidaknya kurang mengundang minat meneliti—adalah rendahnya dana penelitian, maka dipandang penting pimpinan UIN “mewajibkan” setiapkan dosen untuk meneliti dan/atau menulis karya-karya akademik yang relevan dengan bidang keilmuannya. Kebijakan “wajib meneliti” ini, tentu saja, harus dibarengi dengan pemberian “insentif” (ujrah) yang memadai: membuat khusyu’, tekun, dan menikmati proses penelitiannya.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai keilmuan dan keislaman ke dalam bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya. Profesi ini cukup menantang dan menjanjikan harapan, meskipun penerjemah relatif belum mendapat apresiasi yang sewajarnya. Menarik dicatat bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama pada masa Hârûn al-Rasyîd (786-809 M) dan al-Ma’mûn (786-833 M). Gerakan penerjemahan itu disosialisasikan dengan ditunjang oleh adanya pusat riset dan pendidikan seperti Bait al-Hikmah (Wisma Kebijaksanaan).
Kelima, intensifikasi akses dan kerjasama dengan pihak luar, termasuk melalui Departemen Luar Negeri, agar “pos-pos” yang bernuansa atau berbasis bahasa Arab dapat diisi oleh lulusan PBA, yang meminati karir di bidang diplomasi dan politik. Jika program peminatan atau konsentrasi yang terkait dengan bahasa Arab dapat dikembangkan, makna peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan bahasa Arab menjadi lebih terbuka dan kompetetif. Oleh karena itu, pembenahan internal, terutama penjaminan mutu akademik dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas SDM (tenaga pendidik) yang mengabdikan diri pada Pendidikan Bahasa Arab mutlak harus “didisiplinkan”, baik dari segi keilmuan maupun kesejahteraan.
Keenam, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Kita selama ini masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri.
Ketujuh, sudah saatnya Pendidikan Bahasa Arab melahirkan karya-karya akademik (hasil-hasil penelitian, teori-teori baru, buku, media, dan sebagainya) yang dapat memberikan pencerahan masyarakat. “Lahan” pemikiran pendidikan bahasa Arab sejauh ini belum “tergarap” dengan baik, sehingga dalam hal ini kita masih “miskin” produktivitas keilmuan. Menurut Mahmûd Fahmî Hijâzî, studi bahasa Arab masih terus memerlukan karya terutama di bidang pengembangan kosakata dan istilah-istilah modern, ensiklopedi, bank istilah sains dan teknologi, dan sebagainya, sehingga bahasa Arab tidak dianggap sebagai bahasa yang tidak mampu beraadaptasi dengan perkembangan ilmu dan teknologi.[20]
[14]Lihat Teun A. van Dijk, ‘Ilm al-Nashsh: Madkhal al-Mutadâkhil al-Ikhtishâshât, terj. dari Textwissenscaft, eine interdiziplinare Einfuhrung oleh Said Hasan Buhairi, (Kairo: Dâr al-Qâhirah, 2002).
[15] Kajian mengenai teks di dunia Arab cukup semarak karena peradaban Islam mewariskan teks yang sangat melimpah. Nashr Hâmid Abû Zaid menyatakan bahwa jika peradaban Mesir kuno adalah peradaban pascakematian (Mummi, piramida, makam raja-raja); peradaban Yunani adalah peradaban nalar (akal, filsafat), maka peradaban Islam adalah peradaban teks (nash). Lihat Nashr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsat fi Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1993), h. 11.
[16] Kajian mengenai stilistika pada merupakan bagian dari ilmu balaghah. Seiring dengan perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab, dan estetika (keindahan, termasuk keindahan bahasa), muncullah kajian yang lebih intensif dan mengarah kepada pembentukan ilmu uslûb. Di antara karya yang berkaitan dengan ilmu ini adalah: al-Uslûb: Dirâsah Balâghiyyah Tahliliyyah li Ushûl al- Asâlîb al-Adabiyyah (1993) karya Ahmad al-Syâyib; ‘Ilm al-Uslub: Mabadi’uhu wa Ijra’atuhu (1983) karya Shalâh Fadhl; dan Jamâliyyah al-Uslûb: al-Shûrah al-Fanniyah fi al-Adab al-‘Arabî karya Fâyiz al-Dâyah.
[17]Tarjamah misalnya semula hanya merupakan salah satu cabang bahasa Arab yang “disubordinasikankan” dalam buku-buku pelajaran bahasa Arab. Dalam perkembangannya, tarjamah kemudian menjadi sebuah mata kuliah, dan belakangan menjadi sebuah program studi seperti yang ada pada Fakultas Adab dan Humaniora. Demikian pula, karya-karya tentang tarjamah mula-mula misalnya hanya berupa fann (seni); belakangan kata ‘ilm disebutkan secara tegas. Lihat misalnya, Muhammad ‘Inâni, Fann al-Tarjamah, (Kairo: al-Syarikah al-Mishriyyah al-‘Âlamiyyah, 1992); Muhammad al-Dîdâwi, ‘Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, (Tunis; Dâr al-Ma’rifah, 1992); dan Ibrâhîm Badawî al-Jîlânî, ‘Ilm al-Tarbiyah wa Fadhl al-‘Arabiyyah ‘ala al-Lughât, (Kairo: al-Maktab al-‘Arabi li al-Ma’ârif, 2000).
[18] Pemikiran tokoh-tokoh tersebut juga sangat layak dijadikan sebagai obyek penelitian, baik dalam rangka penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi. Di antara tokoh pendidikan bahasa Arab yang sangat produktif adalah Rusydî Ahmad Thu’aimah. Selain aktif di Isesco, dia adalah peneliti, dosen terbang di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Di antara karyanya yang banyak menjadi referensi dalam pendidikan bahasa Arab bagi non-Arab adalah al-Marji’ fi Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Nâthiqîna bi Lughât Ukhra (1986); Ta’lîm al-Kibar: Takhthîth Barâmijihi wa Tadrîs Mahârâtihi (1999), Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyyah li ghair al-Nâthiqîna biha: Manâhijuhu wa Asâlîbuhu (1989); Manâhij Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Ta’lîm al-Asâsî (2001); Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Dîn baina al-‘Ilm wa al-Fann (200
0); dan yang terbaru, Ta’lîm al-Lughah Ittishâliyyan: Manâhijuhu wa Istirâjiyyatuhu (2006).
[19] Dalam konteks ini, usaha Tammâm Hassân (1918—sekarang), linguis Mesir kontemporer, untuk mengaplikasikan teori-teori linguistik modern dalam kajian bahasa Arab (terutama nahwu) cukup berhasil. Ia mendasarkan studinya dengan membangun landasan ilmiah terlebih, yaitu merumuskan Manâhij al-Bahts fi al-Lughah (1955), metodologi penelitian bahasa. Setelah itu, ia membongkar (mendekonstruksi) warisan intelektual klasik (nahwu), lalu merekonstruksinya dengan menawarkan model kajian bahasa Arab yang lebih realistis, rasional, dan pragmatis. Pendekatan dalam kajian bahasan menurutnya sangat luas dan luwes, sesuai dengan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa Arab dapat didekati dari perspektif pendidikan, penelitian, sejarah, kritik, dan evaluasi. Berbagai pendekatan tersebut, setelah diaplikasikan, menghasilkan sejumlah karya yang cukup monumental. Di antaranya: al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ (1973), al-Ushûl: Dirasah Epistemolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-‘Arab: al-Nahw –Fiqh al-Lughah – al-Balâghah (1981); al-Tamhîd fi Iktisâb al-Lughah al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîna bihâ (1984); al-Khulâshah al-Nahwiyyah (2000), al-Bayân fi Rawâ’i al-Qur’ân (1993). Mengenai biografi intelektualnya, lihat ‘Abd al-Rahmân Hasan al-‘Ârif (Ed.), Tammâm Hassân Râ’idan Lughawiyyan, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2002), Cet. I, h. 13-33.
[20] Mahmûd Fahmî Hijâzî, al-Lughah al-‘Arabiyyah fi al-‘Ashr al-Hadîts: Qadhâyâ wa Musykilât, (Kairo: Dâr Qubâ’, 1998), Cet. I, h.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar